Seringkali dalam pergaulan sehari-hari kita menjumpai orang yang merasa senang jika dipuji. Atau mungkin kita sendiri yang sering mendapatkan pujian dari kerabat, teman atau bahkan keluarga kita sendiri. Lalu bagaimanakah sikap kita pada saat ita menerima pujian ? senang , bangga atau tersanjung, ataukah merasa susah hati. Sekarang kita perhatikan diri kita, apakah kita termasuk orang yang senang dipuji atau susah hati bila dipuji.
Sebagai seorang mu’min, hakekat pujian seharusnya kita tujukan hanya kepada Allah SWT, bukan diri kita yang hanya hamba ini. Seorang mu’min jika dipuji orang, malu kepada Allah karena ia dipuji dengan sifat yang tidak ada pada dirinya. Siapa yang merasa senang dengan pujian orang terhadap dirinya, berarti ia telah mengijinkan ( memberi kesempatan) kepada syaitan untuk masuk dan merusak iman dan pikirannya.
Seorang mu’min yang sesungguhnya ialah yang tidak merasa dirinya mempunyai sifat-sifat yang layak untuk dipuji, sebab ia hanya merasa mendapat karunia Allah jika ia dapat berbuat sesuatu yang baik dan sama sekali bukan dari usaha kekuasaan dan kehendak dirinya.
Al Harits Al Muhasiby mengumpamakan orang yang senang akan pujian bagaikan orang yang senang dengan ejekan orang padanya : Andaikan ada orang berkata : Kotorannmu itu tidak berbau, atau berbau harum, lalu engkau gembira dengan keterangan pujian yang demikian, padahal engkau sendiri jijik dan berbau busuk. Maka ketahuilah bahwa kotoran dosa dan jiwa itu lebih busuk dari kotoran orang.
Suatu riwayat menceritakan seorang hakim dipuji oleh orang awam, maka ia menangis lalu ditanya : Mengapakah engkau menangis padahal orang itu memuji padamu ? Jawabnya : ia tidak memuji kepadaku, melainkan setelah mengetahui bahwa ada sifat-sifat yang sama dengan sifat-sifatnya.
” Orang-orang zahid (ahli ibadah) jika dipuji merasa ketakutan, karena melihat pujian itu dari sesama makhluk, sebaliknya orang arif jika dipuji merasa gembira karena mengerti benar-benar bahwa pujian itu langsung dari Allah raja yang hak “
Karena itu Rasulullah mengajarkan secara umum : hamburkan tanah di muka orang yang memuji-muji . Sebaliknya Rasulullah sendiri ketika dipuji dengan kasidah oleh Hassan dan Ka’ab bin Zubair, Rasulullah SAW menunjukkan kegembiraan bahkan melemparkan mantel (surban) kepada Ka’ab bin Zubair. Itu menunjukkan tanda bahwa Rasulullah seorang yang Arif bila ia tidak berubah dalam pujian maupun celaan orang, sebab yang diperhatikan hanya semata-mata hubunganya kepada Allah.
Mudah-mudahan kita bisa menjaga hakekat hati kita pada saat menerima pujian dan mengembalikan segala pujian tersebut hanya kepada Allah semata, zat yang seharusnya berhak menerima segala pujian makhluknya.